Dini hari, aku bangun dengan saturasi di angka 81-82%, setelah 10 menit dengan oksigen angka saturasi tidak naik juga. Istriku sangat khawatir dan berkali-kali mendesak untuk ke IGD. Sebenarnya aku enggan ke IGD pada masa-masa ini. Puluhan berita dan kabar bahwa para penderita Covid yang datang ke rumah sakit pada ditolak dan kalau pun diterima akan ditempat di tempat seadanya saja dan perawatannya seadanya saja. Ya, saat ini Covid sedang merajalela. Penderitanya menanjak tajam tak sebanding dengan kapasitas rumah sakit di seluruh DKI Jakarta, gila gak tuh. Berdasar berita dan cerita itu aku merasa akan sia-sia datang ke rumah sakit, karena kalau pun diterima, sepertinya masih akan lebih baik dan nyaman di rumah. Kalaupun aku harus mati karena Covid ini, mending mati di rumah saja dalam keadaan nyaman.
Namun karena desakan istriku yang seperti biasanya aku akan mengalah, maka mulailah perjalanan kami. Bertualang dengan taksi Bluebird, kami menuju RS Atmajaya yang di seberang Mall Pluit Junction itu. Sampai di IGD Atmajaya aku turun dari mobil, kemudian langsung dicegat sekuriti yang menanyakan keperluan. Kami pun menceritakan kondisiku, namun sekuritinya mengatakan kalau IGD penuh dengan pasien Covid dan tidak bisa menerima pasien lagi. Walau kami sudah menegaskan ulang kalau kondisiku sudah mengkhawatirkan dengan saturasi oksigen di 80an, sekuritinya tetap menolak kami. Saat itu taksinya sudah mulai jalan pulang, untung saja sempat kami panggil lagi supaya bisa melanjutkan petualangan ke rumah sakit berikutnya.
Harapan kami berikutnya ada pada RSU Pluit, sampai di IGD Pluit kami diterima resepsionis yang sedang ngobrol dengan 2 petugas lain di IGD. Saat kami menceritakan kondisi dan niat kami, resepsionisnya sambil tertawa mengatakan kalau IGD RSU Pluit tidak menerima pasien Covid. Yang bikin hati ini jadi sedih itu ketawanya resepsionis tadi itu, kayaknya kok seperti mengejek atau nyukurin diriku yang kena Covid sampai perlu IGD. Ya kayaknya itu perasaanku saja sih.
Setelah itu kami memanggil grab untuk mengantar kami pada petualangan selanjutnya. Kami mencoba RSU PIK, dan rumah sakit Tzu Chi di Muara Kamal yang baru dibuka itu. Semua rumah sakit itu penuh pula dan tidak bisa menerima pasien. Kami juga mencoba RS Siloam lewat telepon, namun jawabannya juga sama. Akhirnya aku putuskan kalau kita pulang saja. Kondisiku semakin parah, sesak semakin berat, badan semakin lemas, pusing semakin terasa. Semua itu karena lelah dan tegang berusaha mendapatkan layanan rumah sakit. Setelah melihat kondisiku itu, akhirnya istriku menyerah dan memutuskan untuk pulang juga.
Saat itu juga kondisi istriku juga jadi kurang baik, dia merasa mual. Mungkin karena stress dan asam lambungnya berlebih dan naik ke tenggorokan. Sampai di apartemen, dia muntah. Aku sendiri juga segera mandi dan merawat diri sendiri. Mengandalkan Ventolin, Nebulizer, tabung oksigen dan istirahat, akhirnya matahari bersinar terang dan kondisiku berangsur membaik. Seharian waktuku digunakan untuk makan, istirahat, minum obat, istirahat, minum suplemen, istirahat, hirup oksigen, istirahat, dan latihan pernapasan. Agak siangan, saturasi oksigenku sudah diatas 95% dan sesakku sudah berkurang.
Hari itu juga aku membaca berita dan kabar dari bos dan teman-teman bahwa jasa pengisian tabung oksigen mulai susah, antrian panjang. Tabung oksigen mulai langka dan dijual mahal, mencapai harga 2,5 - 3 juta rupiah. Aku sangat bersyukur kalau aku sudah mendapatkan tabung oksigen pada waktu yang tepat, TUHAN selalu memberikan berkat dan lindungan untukku pada saat yang tepat. Berkatnya juga selalu ada walau tak berlebih. Namun dari berita itu juga muncul kekhawatiranku, bagaimana kalau oksigenku ini habis? Siapa yang bisa mengisikan tabung-tabung itu dalam kondisi yang susah seperti itu?
Namun lagi-lagi kasih TUHAN itu tak habis-habisnya, salah satu bosku menanyakan kabarku dan kabar tabung oksigennya. Dia menawarkan satu tabung lagi, disiapkan di kantor bila diperlukan. TUHAN itu baik, bosku juga baik.